Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Permintaan AS Pada Mesir, Cabut UU Darurat

Adanya UU Darurat yang diberlakukan di Mesir, membuat Pemerintah AS ikut menanggapi, AS menyeru agar Presiden Mesir Hosni Mubarak segera mencabut UU tersebut. UU Darurat itu sendiri telah diberlakukan sejak 30 tahun lalu. Pernyataan tersebut disampikan oleh Wapres AS, Joe Biden serta meminta Mubarak untuk menghentikan kekerasan dan penahanan terhadap para jurnalis dan aktivis.
Berdasarkan pernyataan dari Gedung Putih, yang dilansir stasiun berita BBC, Selasa, 8 Februari 2011, seruan tersebut disampaikan Wakil Presiden AS, Joe Biden, kepada wapres Mesir, Omar Suleiman, melalui sambungan telepon. Biden pada kesempatan itu menyampaikan beberapa seruan dari AS untuk pemerintahan Mubarak demi mengakhiri bentrokan di Kairo.
Diantaranya adalah mencabut undang-undang darurat yang telah diberlakukan sejak terbunuhnya Anwar Sadat pada 1981. Undang-undang ini melarang warga berkumpul dan menyampaikan aspirasinya.
Dengan UU ini, pemerintah juga mempunyai wewenang penuh untuk menangkap seseorang yang dianggap teroris dan menghentikan semua aktivitas politik. Para aktivis HAM menganggap UU ini digunakan pemerintah untuk menjegal para lawan politiknya, termasuk melarang gerakan Ikhwanul Muslimin.
Biden juga menyerukan pemerintahan Mubarak untuk menghentikan penangkapan, pemukulan dan penahanan terhadap para wartawan dan aktivis politik dan sosial, serta memberikan kebebasan dalam menyampaikan aspirasi mereka.
Selain itu, Biden juga mendorong Mubarak untuk mengikutsertakan beberapa tokoh oposisi yang lebih luas lagi, tidak hanya Ikhwanul Muslimin, untuk ikut andil dalam dialog nasional membentuk reformasi.
Terakhir, Biden menyerukan agar pemerintah Mubarak menjadikan para tokoh dan gerakan oposisi sebagai mitra dalam peta transisi dan reformasi politik yang akan dijalankan.
Ini adalah kali pertama AS memberikan seruan langsung kepada Mesir sejak gelombang demonstrasi dimulai 25 Januari lalu. Sebelumnya, AS menghindari untuk mengeluarkan seruan maupun dorongan, khawatir disebut terlalu mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tantangan Kerjasama Konsuler antara RI-Uni Eropa


Hubungan bilateral Indonesia Uni Eropa tergolong unik karena menjanjikan banyak peluang kerjasama. Namun di sisi lain juga penuh dengan tantangan diantaranya di bidang konsuler yaitu dimasukkannya Indonesia ke dalam Annex I Protokol Schengen (negara yang memerlukan visa bagi warga negaranya untuk berkunjung ke wilayah schengen). Untuk mengimplementasikan Kesepakatan Kemitraan Komprehensif Indonesia-UE khususnya dalam mendorong kegiatan people-to-people contact kedua pihak, diperlukan upaya agar Indonesia dapat dicantumkan pada Annex II Protokol Schengen (yaitu sebagai negara yang dibebaskan dari ketentuan visa schengen).

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Amerika dan Eropa dalam diskusi
mengenai Kebijakan Visa Schengen dan Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI)/Badan Hukum Indonesia (BHI) di Kawasan Eropa di Jakarta, 17 Februari 2011.
Diskusi menyimpulkan beberapa masukan bagi persiapan Indonesia untuk melakukan appeal kepada pihak schengen terkait status Indonesia di Annex I. Masukan tersebut diantaranya adalah melakukan koordinasi antar instansi guna memperkuat posisi Indonesia termasuk dengan seluruh perwakilan RI di wilayah schengen. Di sisi lain, perlu terus dilakukan pembenahan terutama untuk dokumen perjalanan serta masalah perlindungan warga Negara diluar negeri khususnya masalah illegal immigrant, yang selama ini menjadi pertimbangan penting Uni Eropa/Negara schengen kepada suatu negara untuk dapat beralih dari Annex ke Annex II Protocol dimaksud.
Diskusi yang diselenggarakan bersama oleh Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa dan Ditjen Protkons Kementerian Luar Negeri RI ini menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya yaitu Pejabat Schengen Council di Jakarta, pejabat KBRI Brussels, Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Direktur Konsuler, dan pejabat dari Ditjen Imigrasi dan dihadiri oleh sekitar 130 orang dari wakil-wakil Kementerian/Lembaga pemerintah dan non pemerintah terkait termasuk akademisi, jasa pengirim tenaga kerja dan biro perjalanan.
Diskusi bertujuan untuk memberikan pemahaman yang jelas dan tepat mengenai hak dan kewajiban WNI dalam permohonan visa schengen. Di samping itu juga    untuk menciptakan sinergi yang lebih baik antar instansi agar lebih berperan dalam menunjang salah satu misi politik luar negeri, yaitu perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.
Diskusi mendapat banyak perhatian yang tinggi dari peserta maupun dari wakil schengen council di Jakarta, yang terlihat dari tingginya antusiasme peserta pada sesi tanya jawab. (Sumber: Setditjen Amerop).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Masalah Mesir Keruhkan Pembicaraan Timur Tengah

Munchen, Jerman (ANTARA News) - Keadaan di Mesir mewarnai pembicaraan Kuartet Timur Tengah di Jerman pada Sabtu karena merebaknya ketakutan terhadap perubahan rezim di Kairo yang dapat menciptakan kekacauan dalam proses perdamaian.

"Salah satu mitra besar kami tidak ingin kuartet bertemu saat ini, dengan mengatakan mungkin sekarang bukan saat untuk mendiskusikan proses perdamaian manakala seluruh kawasan sedang mengalami perubahan dramatis," kata seorang diplomat Eropa.

Analisis kami malah sebaliknya, karena hal ini terjadi, kuartet harus bertemu dan perlu untuk memberikan sinyal kuat bahwa proses perdamaian masih berlangsung," tambahnya. Pertemuan pada Sabtu malam di Munchen mempertemukan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton, Kepala urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton, Menlu Rusia Sergei Lavrov dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Palestina keluar dari pembicaraan damai tahun lalu setelah Israel menolak untuk memperbarui pembekuan sementara pembangunan permukiman di Tepi Barat -- pada tanah yang dialokasikan untuk negara Palestina di masa depan.

Otoritas Palestina bersikap defensif sejak stasiun televisi Al-Jazeera yang berbasis di Qatar mulai mengeluarkan ribuan dokumen resmi yang menunjukkan konsesi besar yang ditawarkan kepada Israel di belakang layar. Namun kerusuhan yang terjadi di Mesir mengancam dapat mengkerdilkan upaya perdamaian karena Israel dan pihak lain khawatir bahwa revolusi akan mengganti Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan pemerintahan yang keras terhadap negara Yahudi. Jajak pendapat yang dipublikasikan pada Kamis menunjukkan 59 persen warga Israel memprediksi akan muncul rezim Islam setelah Mubarak mundur sedangkan hanya 21 persen yang memperkirakan pemerintah demokrasi sekuler yang menggantikan rezim.

"Bila masa setelah pemilu Anda mendapati kediktatoran ekstrimis agama, apakah pemilu demokrasi ini berarti?" kata Presiden Israel Shimon Peres. Setelah empat perang, Mesir menandatangani perjanjian perdamaian dengan tetangganya pada 1979 dan semenjak menjadi presiden pada 1981, Mubarak memainkan peran penting untuk memediasi Israel dan dunia Arab lainnya, khususnya Palestina. "Sulit untuk memperkirakan nilai keamanan, ekonomi dan emosi dari perjanjian perdamaian dengan Mesir," kata analis Ofer Shelah pada harian Yediot Aharanot terbitan Israel. "Adanya suatu situasi konfrontasi bahkan yang dingin dan tidak dinyatakan akan memberikan dampak besar bagi kehidupan kami."

Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Parlemen Israel dan bekas kepala pasukan keamanan mengatakan bahwa kondisi tidak menentu di Mesir menambah urgensi perlunya suatu akomodasi bagi warga Palestina. "Karena adanya perubahan strategis di kawasan, kami harus melangkah maju dengan warga Palestina," katanya. Bila hal itu gagal terjadi, maka dapat memicu Israel untuk mengimplementasikan "satu negara bagi dua bangsa, mendekati perang baru dengan tetangganya. Diplomat Eropa memperingatkan untuk tidak mengharapkan adanya pernyataan "substansial mengenai isu spesifik" dari pertemuan Kuartet karena tampaknya hasil persetujuan adalah untuk mengadakan pertemuan kembali dalam empat hingga lima minggu ke depan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS